Semesta Bilingual Boarding School

Saya datang ke acara buka bersama yang diadakan Sekolah Semesta, FKUB, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan perkumpulan INTI, Indonesia Tionghoa. Saya datang mewakili yayasan sekolah bersama seorang sobat. Saya memakai baju putih dan sarung yang saya ikat ala ikat-Myanmar.
Kami tiba di tempat acara, sebuah restoran khas Timur Tengah yang berada di sebuah kompleks pertokoan. Kami naik ke lantai dua. Ternyata sudah banyak yang hadir, kebanyakan dari FKUB. Saya sebenarnya bertanya-tanya siapa yang menjadi tuan rumah. Di panggung terpampang spanduk besar bertuliskan: “Buka Puasa & Sarasehan Antar Agama”
Saya duduk setelah bersalaman dengan undangan lain. Tak lama kemudian acara dimulai dengan sambutan-sambutan. Ada sambutan dari Ketua Yayasan Universitas Wahid Hasyim, disambung sambutan dari Ketua FKUB, Ketua INTI dan Pengurus Yayasan Pendidikan Semesta Abdul Karim . Semua orang memberi pandangan pentingnya toleransi beragama. Saya paling suka sambutan Ketua FKUB yang menekankan pentingnya moderasi dan kedewasaan dalam beragama.
Moderasi dan Kedewasaan – dua kata kunci yang bisa mencegah konflik sektarian. Saat ini fanatisme, klaim kebenaran sepihak, ketakutan umatnya lari, pindah agama, kecemburuan sosial menjadi sumber konflik yang rentan diprovokasi.
“Sebenarnya Konsili Vatikan tahun 1962 sudah menyatakan bahwa gerbong keselamatan bukan hanya dari gereja Katholik, tapi ada kebenaran di agama yang lain,” tutur seorang pemuka agama Katholik dari FKUB.
Saya mengangguk setuju.
Ini sebuah kedewasaan spiritual.
Saat seorang Rektor Universitas Wahid Hasyim maju ke depan, beliau mengatakan bahwa berdirinya universitas yang dipimpinnya tak lepas dari peran etnis Tionghoa yang ikut menyumbang sehingga universitas bisa mulai beroperasional.
“Saya memegang pesan Gus Dur,” imbuhnya. “Universitas ini tidak boleh diberi label Islam atau NU. Universitas ini harus terbuka untuk semua orang dari berbagai macam etnis dan agama. Dan kami bersyukur sudah ada lima agama diajarkan di universitas kami dan mahasiswa dari Sabang sampai Merauke, dari segala penjuru dunia, mulai berdatangan kuliah di tempat kami. Ada yang dari Uzbekistan, dari Afghanistan, bahkan dari China. Mereka ingin belajar tentang Islam di Indonesia, Islam Nusantara…”
Kami semua bertepuk-tangan. Senang sekali mendengar pengakuan dunia atas ajaran Islam di Indonesia.
Ini juga kedewasaan spiritual.
Perwakilan Pengurus Yayasan Pendidikan Semesta memberi sambutan sebagai tuan rumah. Dengan aksen yang tidak terlalu kentara, Beliau menyambut dalam Bahasa Indonesia. Ia merasa senang bahwa perkumpulan INTI atau Indonesia Tionghoa ternyata tidak berkiprah hanya untuk orang Tionghoa, seperti prasangka awalnya. Ternyata INTI berkiprah sosial juga tanpa memandang ras, etnis maupun agama. Sang Kepala Sekolah kemudian memberikan pandangannya tentang keberagamaan.
“Tidak mungkin orang menguasai bahasa seluruh dunia. Tidak mungkin,” ujarnya sambil tersenyum. “Tapi ada satu bahasa yang dipahami orang seluruh dunia: bahasa kemanusiaan, bahasa kasih adalah bahasa universal…”
Bagus sekali! Saya bertepuk-tangan, diikuti undangan lain.
Beliau memindahkan mikrofon ke tangan kirinya.
“Orang yang beragama harus bisa menggunakan hati nurani untuk memutuskan; bukan menunggu titah atau perintah guru agama atau pimpinannya. Jika ada bom meledak, misalnya, tidak usah tanya pak ustad atau pak kyai, ini salah atau benar. Semua tindakan yang tidak sesuai asas kemanusiaan pasti salah…”
Hmm, bagus. Nurani di atas titah. Nurani adalah ‘nur illahi’.
Ini kedewasaan spiritual.
Saya merasa bersyukur sudah diundang ke acara ini. Selain menikmati segarnya es teh tarik, puding buah, martabak, nasi kebuli, saya juga mendapat siraman spiritual yang mencerahkan.
Di saat akhir saya dipanggil juga untuk memberi pandangan. Saya mengatakan bahwa saya senang diundang ke acara bukber ini.
“Saya memakai sarung untuk menghayati acara ini,” ujar saya. Semua orang tertawa. Ternyata saya satu-satunya tamu yang memakai sarung.
“Rasanya silir sekali,” imbuh saya.
Lagi-lagi semua tertawa.
“Sebenarnya saya setuju dengan yang tadi dikatakan pemuka agama Islam bahwa rumah ibadah sesungguhnya hanya bangunan fisik, tumpukan bata yang tidak bermakna apa-apa,” ujar saya dengan nada serius.
Semua diam menyimak.
“Yang memberi makna adalah manusianya, umatnya. Kedewasaan beragama adalah bagaimana kita mampu menempatkan kemanusiaan di atas ritual…”
Saya berhenti sebentar, memastikan ikatan sarung, agar tidak sampai melorot. Hehehe.
“Misalnya kita mau ke gereja, tapi di jalan ada kecelakaan, apa yang harus dilakukan? Tetap ke gereja untuk menyembah dan memuliakan nama Tuhan atau berhenti untuk membantu tukang becak yang kecelakaan, yang ternyata harus dibawa ke rumah sakit, yang ternyata anaknya butuh bantuan beasiswa?”
Saya menatap ke depan, ke para tamu undangan dari berbagai aliran agama.
“Kira-kira Tuhan suka tindakan kita yang mana? Tuhan, waktu itu aku mau ke gereja, eh, ada kecelakaan. Aku tetap ke gereja untuk berdoa menyembah-Mu, memuliakan-Mu, membela nama-Mu. Aku ndak mau ngurusi kecelakaan itu. Atau, Tuhan, sori, lho, maap, waktu itu kan aku mau ke gereja, eh, ndilalah kok ada tukang becak kecelakaan kesrempet mobil. Aku ndak jadi ke gereja, aku nulung bapak becak yang kecelakaan. Sori, ya, Tuhan, sori…”
Saya menatap ke para hadirin lekat-lekat. Saya bertanya, “Kira-kira, Tuhan suka tindakan kita yang mana?”
Kemanusiaan harus di atas ritual. Kemanusiaan di atas segalanya. Itulah kedewasaan spiritual.
Sudah, ah. Saya mau tandhuk martabaknya lagi. Enak banget. Kuah karenya juga luar biasa!
Yuk, berbuka.
Mei, 2019
Ditulis oleh Haryanto Halim (Ketua Yayasan Karangturi)

id_IDID
×

Hello!

Click one of our representatives below to chat on WhatsApp or send us an email to info@semesta.sch.id

× How can I help you?